Selasa, 19 Juni 2012

CERBUNG

Kala itu senja terlihat akan turun, terhempas diatas bumi. Aku berjalan dengan kaki kecilku menapaki jalan bebatuan selepas dari rutinitasku mengaji. Seperti biasa, sepulang dari itu aku menjalankan tugasku untuk memasukkan ayam-ayam peliharaan keluargaku. Tak lama berselang, mulai terdengar sayup kumanadang adzan magrib bersamaan jatuhnya senja secara sempurna. Syukurku kerana terlahir dalam keluarga yang mengerti akan agama. Entah karena panggilan atau karena tlah terbiasa oleh didikan ibu, aku enggan sedikitpun untuk meninggalkan kewajibanku sebagai seorang muslim. Ku melangkah menuju bilik kecil di belakang rumah. Ku ayunkan tanganku dan ku gapai jamban air kecil di sudut bilik mandi yang kecil nampak remang-remang oleh lampu 5 watt. Perlahan, ku buka pancuran dan mulaiku rasa segarnya kehidupan dari sang pencipta. tahap demi tahap ku lewati alur untuk menyempurnkan wudhlu dengan tangan kecilku. Kemudian segera ku ambil mukena kumal pemberian ibuku dan segera kuberlari mendahului untuk datang ke surau timur rumah. begitu mulianya ibuku yang mendidikku agar selepas shlat magrib selalu membimbingku agar tak lupa untuk melantunkan ayat suci al quran sebagai benteng iman yang mulai tumbuh dihatiku.
Selepas itu, malam terlewati seperti biasa, sehabis magrib ibu membentuk karakter disiplinku agar belajar dan aku pun mengikutinya. Esok adalah hari libur, seperti anak lainnya naluriku sebagai anak sangatlah senang ketika hari libur tlah tiba. Sebagai anak desa, aku bergaul dengan teman sebayaku dengan riang memainkan permainan tradisional "Engleng". Tanpa terasa waktu berlau begitu saja, kami lelah dan kami beristrahat sejenak. Di setiap hari minggu kebetulan warga sekitar mengadakan "arisan". Sebagai anak kecil kami diperintah para orang tua untuk menagih iuran arisan ke para tetangga dengan imbalan kala itu 500 rupiah. Memang nominal itu mungkin sangat kecil. namun di masa krisis itu nominal itu sangatlah berarti bagi kami orang desa yang hidup pas-pasan. Tak ku sangka hari itu akan menjadi hari yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang hingga kini ku dewasa belum terjawab. Aku pulang dengan girang karean ternya saat pengundian keluar nomor atas namaku. Ingin segera aku pulang dan menyampaikannya pada ibu. Aku berlari kecil terburu-buru ingin ku perlihatkan segenggam uang yang ku bawa. Setiba di rumah aku melihat ibuku penuh peluh dan wajah yang lelah mencangkul pasir dalam rumah untuk merapikannya. Aku menyampikan apa yang ku  ba kala itu dengan suara lirih pada ibuku "Buk oleh arisan ( buk dapat arisan)". Spontan masih ku ingat dengan jelas ekspresi ibuku berubah girang dan tiada henti mengucap syukur. Pada saat itu pula ku mengerti kalau kehidupan keluargaku memang pas-pasan. Melihat peluh ibu entah mengapa aku berfikir kenapa bukan bapak yang melakukannya?bukankah itu tugas bapak?. Kala itu aku bertanya pada diriku sendiri. Berjalan melihat kenyataan yang terbongkar perlahat di bawah pengertianku jika memeng bapaku tidak sam dengan bapak-bapak lain yang penuh cinta kasih dan tanggung jawab pada kelurganya.


Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar